Baik sangka vs buruk sangka
Ketenangan dan kebahagiaan itu antara lainnya terbit dari sifat kesenantiasaan bersangka baik. Lawan kepadanya yakni buruk sangka kepada orang lain pasti membalut diri dengan penyesalan, kegelisahan dan keresahan yang tidak berpenghujung. Tanpa sedar sifat buruk sangka ini juga akan mengundang sombong dalam diri lantaran sentiasa memandang dirinya lebih baik dari orang lain.
Dengan tegas Allah berfirman bermaksud:
“Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan daripada prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa” – Al Hujurat: 12
Sementara dalam surah lainnya, Allah berfirman yang maksudnya:
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesunggunya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” – An Najm: 28
RasululLah seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim melarang keras umatnya berburuk sangka dalam sabdanya berbunyi (maksudnya):
“Jauhilah prasangka kerana sesungguhnya prasangka itu merupakan berita yang paling bohong”.
Orang yang memiliki hati yang sihat pasti akan menjauhi persangkaan yang buruk kepada orang lain yang belum tentu memusuhi agamanya dan urusan dunianya yang lain. Inilah yang menjadi rahsia kebahagiaan kerana dalam bersangka baik itu tersimpan ketenangan daripada bebanan dan dosa menuduh orang lain tanpa bukti yang benar.
Persangkaan yang sentiasa baik seorang ulama salaf bernama Talhah bin Abdullah bin Auf terhadap para sahabatnya seharusnya kita contohi. Lantaran rasa tidak puas hati isterinya terhadap sikap dan layanan sahabat-sahabat Talhah, isterinya berkata kepadanya: “Sahabat-sabahatmu itu suka menyakitimu”.
Jawab Talhah: “Jangan berkata begitu terhadap mereka. Apa engkau telah melihat kejahatan mereka?”.
Isterinya membalas: “Sungguh, demi Allah, ini sudah jelas dan nyata”.
“Apa itu?”, soal Talhah kembali.
Lalu jawab isterinya: “Apabila kamu memperoleh kekayaan, mereka memerlukanmu. Tapi apabila kamu jatuh miskin, mereka menjauhimu”.
Talhah membalas demikian: “Kamu hanya mampu menggambarkan mereka dengan akhlak mulia”.
Si isteri kemudian bertanya: “Apa itu yang disebut akhlak mulia?”.
Dan Talhah pun menjawab: “Mereka mendatangi kita ketika mereka sedang kuat dan mereka menjauhi kita ketika mereka sedang lemah”.
Betapa mulianya hati seorang Talhah, hati orang beriman yang sentiasa sihat dan segar bersiram titisan taqwa. Makanya, ketika orang lain berbuat sesuatu yang kurang kita senangi pujuklah dan didiklah hati untuk bersangka baik. Bercakap (@ menaip) memanglah senang, kan? Tapi percayalah, yang susah pada mulanya itu pasti menjadi mudah malah akan sebati akhirnya dalam diri. Hanya saja perlu kepada niat yang baik, bersangka baik dan berusaha untuk sentiasa bersangka baik walau dalam apa keadaan sekalipun semata-mata mengharap redha Allah swt.
Ya Allah, bimbinglah kami dengan cahaya hidayahMu…
Subhanallah…..Bagus Ukh
Beberapa waktu lalu ana sempet bu’uzhon ma temen (Hikz…)
Ini sangat mengingatkan diri tuk ttp cari seribu satu alasan tuk berbaik sangka pada tiap mukmin.
Jazakallah Khoir ^_^
Izin taut blog anti yaa
bismillah
Benar ukhti, ajaran Islam pun telah menggambarkan bahwa ghibah (menaip), seperti sorang yang makan daging bangkai sahabatnya…padahal sebenarnya ia membencinya (bangkai).. astaghfirullah, mudah2an nice post ini dapat menjadi bahan perenungan untuk kita semua…amien..
ini akan memberikan aku motivasi agar menjauhi sifat buruk karena allah ta’ala